Pelajaran Berharga dari Sebuah Apel
Judul : Tragedi Apel & Buku Ajaib Jiko
Penulis : Yosep Rustandi
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Juli 2020
Tebal : 160 halaman
ISBN : 978-623-253-002-7
Harga : Rp. 40.000,-
Peresensi : Reni Asih Widiyastuti
Alumni SMK Muhammadiyah 1 Semarang
Belajar bisa dari mana saja dan berbagai lini. Sebagai contoh belajar dapat melalui sekolah, internet, guru dan orang tua. Dengan belajar itulah, seseorang akhirnya mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Begitu juga bagi anak-anak. Pelajaran berperan penting dalam dunia anak-anak yaitu sebagai jembatan meraih cita-cita.
Cita-cita sendiri sangat universal. Pada umumnya, ketika anak-anak ditanya, “Apa cita-citamu?” jawaban mereka tak jauh dari dokter, guru, pilot dan lain sebagainya. Namun, berbeda dengan Alin, tokoh utama dalam novel anak berjudul “Tragedi Apel & Buku Ajaib Jiko” ini. Alin hanya memiliki satu cita-cita, yaitu ingin membahagiakan sang ibu yang sedang sakit dengan memberinya apel. Apel yang didatangkan dari negeri Cina dan memiliki bau harum juga rasa yang manis.
Cita-cita Alin yang tidak biasa itu, justru membuatnya menjadi seorang penjambret cilik dadakan. Tak disangka, apel yang dijambret bersama sahabatnya (Jiko) adalah milik seorang gadis SMA bernama Dini. Dini mengejar, namun tidak berhasil. Mekipun gagal, Dini sempat mengenali wajah Jiko. Dini adalah teman dekat Yasmin, salah seorang guru LSM—Lembaga Swadaya Masyarakat “Sanggar Hati”. Kebetulan, Jiko juga bersekolah di sana. Sebab, keluarganya tergolong tidak mampu jika harus menyekolahkannya di SD negeri, yang tetap dipungut biaya.
Setelah menjambret, Alin kebingungan saat akan memberikan apel itu untuk ibunya. Mana mungkin ia mengatakan baru saja membeli, ibunya tidak akan percaya. Untuk makan sehari-hari saja susah, apalagi membeli apel yang sudah pasti sangat mahal baginya. Maka, apel itu hanya disimpan di dalam semak-semak.
Suatu hari, Dini diajak oleh Yasmin untuk mengajar di Sanggar Hati. Saat baru saja mengajar, Jiko berhasil menjawab permainan tentang pertambahan dan pengurangan dari Dini. Dini terkejut, begitu juga dengan Jiko. Jiko pun menyadari dan berlari kencang meninggalkan Dini dan Yasmin sampai-sampai tidak memedulikan bukunya yang terjatuh.
Sejak kejadian itu, Jiko tidak berani ke Sanggar Hati karena takut kalau sampai bertemu lagi dengan Dini. Ia pun mengutarakan keinginannya pada sang ibu agar dipindahkan ke SD negeri saja. Namun, ibunya tidak setuju meskipun ia beralasan jika Alin tidak bersekolah di Sanggar Hati.
Hari berlanjut, Alin semakin bingung bagaimana caranya memberikan apel untuk ibunya tanpa harus berbohong. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan Alin dan Jiko mulai sadar. Akhirnya mereka mengembalikan apel tersebut pada Dini.
Alin sangat kecewa, tapi Tuhan ternyata begitu baik. Suatu hari, ada panjat pinang yang diadakan di lapangan voli. Alin dan Jiko seketika antusias karena hadiahnya dari para pedagang, salah satunya sekantong apel. Mereka segera mengikuti panjat pinang tersebut. Tak disangka, Alin mendapatkan baju seragam SD baru.
Jiko menyemangati Alin dan berkata, “Tapi baju seragam SD pun bisa kita jual, lalu uangnya buat beli apel.”
Alin menjawab, “Siapa yang mau beli? Tahun ajaran baru sudah lewat.” (Hal. 154)
Saat itulah datang seorang anak yang ingin bertukar hadiah dengan Alin. Awalnya Alin tidak mengira apa hadiah si anak itu. Namun, saat membuka kantong plastik, Alin melonjak girang. Ia mendapatkan apel yang diinginkannya selama ini. Apel untuk sang ibu.
Dari seluruh rangkaian kejadian yang dialami oleh Alin dan Jiko, penulis sangat lihai dalam menyampaikan pesan moral. Dengan penggambaran kehidupan sehari-sehari yang begitu melekat dengan anak-anak, buku ini sangat layak dijadikan bahan bacaan bagi mereka. Memberikan inspirasi dan motivasi agar anak mau memetik pelajaran berharga dari sebuah apel, yaitu tentang kejujuran dan keikhlasan.
Semarang, 19 Maret 2021
