Musim hujan sudah tiba. Bu Mulyani, selaku kepala sekolah SD Negeri Taman Delta Mas baru saja mewanti-wanti, agar murid-murid tetap belajar dengan giat selama musim hujan berlangsung. Mereka pun terlihat bersemangat dan tak perlu khawatir keluar rumah untuk membeli buku tambahan karena telah disediakan oleh Bu Mulyani. Kemudian, Agus sang ketua kelas mulai berkeliling, satu per satu dari murid memberikan sejumlah uang sesuai dengan harga buku tersebut.
Ketika Agus sampai di meja Mayla, Mayla tidak langsung memberikan uang padanya. Sebaliknya, Agus masih saja menunggu. Akhirnya, karena terlalu lama, dia melewati Mayla. Mayla hanya sanggup menatap Agus yang berlalu sambil terus menerima uang dari teman-teman yang lain dan mencatatnya dalam buku bersampul batik itu.
Setelah Agus selesai berkeliling ke seluruh kelas, dia melaporkan pada Bu Mulyani, siapa saja yang telah mengumpulkan uang, beserta jumlah nominalnya. Bu Mulyani terlihat memeriksa sesaat. Nama murid-murid hampir semua tercatat. Tapi kening Bu Mulyani tiba-tiba berkerut, karena ternyata hanya nama Inara saja yang tidak ada di dalam buku itu.
“Mayla, kenapa cuma kamu sendiri yang belum mengumpulkan uang?” tanya Bu Mulyani penasaran.
“I—iya, Bu. Saya minta maaf karena ibu saya tidak pernah mengizinkan saya untuk membawa uang sebanyak itu ke sekolah. Tapi saya janji akan memberitahukan ini pada ibu saya, Bu,” terang Mayla.
“Baiklah, Mayla. Ibu mengerti. Sementara, kamu bisa meminjam pada Ratna, jadi kamu tidak akan ketinggalan pelajaran.”
Ratna, yang tidak lain adalah teman sebangku Mayla melirik sinis padanya. Seolah-olah, dia tidak boleh meminjam buku itu.
“Kamu dengar ya, May! Kalau sekarang bolehlah kita berbagi, karena Bu Mulyani yang menyuruh. Tapi besok, aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus punya buku ini juga!” bisik Ratna dengan nada penuh ancaman.
“Iya, Ratna. Aku janji.”
Ratna dan Mayla pun mulai berbagi buku selama pelajaran berlangsung. Sejujurnya, dalam hati, Mayla pusing bukan kepalang karena dia bingung harus bagaimana mencari uang sebanyak tujuh puluh ribu untuk membeli buku tersebut. Sedangkan untuk biaya kebutuhan sehari-hari saja ibunya harus rela membanting tulang, bekerja sebagai buruh cuci yang penghasilannya tidak seberapa.
Meski begitu, dia tidak patah semangat. Karena ibunya selalu berpesan, “Setiap orang memiliki rezeki masing-masing. Tugas kita adalah selalu berusaha dan berdoa untuk mendapatkan rezeki itu.”
Esoknya, ketika hendak berangkat ke sekolah, tiba-tiba petir menyambar-nyambar. Dan byuuurrr hujan turun begitu deras. Tapi wajah Mayla mendadak berubah murung. Bagaimana caranya dia ke sekolah, sementara sepedanya masih rusak? Ibunya juga sedang tidak enak badan. Tentu saja beliau tidak bisa mengantarkannya ke sekolah. Dia memutar otak secepat mungkin. Lalu, matanya tertumbuk pada sebuah payung di belakang pintu.
Dia pun mendapatkan ide cemerlang setelah melihat payung tersebut. Buru-buru, dilepaslah seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaos biasa. Tidak hanya itu, dia juga membuat jas hujan dari kantong plastik besar yang biasanya digunakan untuk membungkus sampah. Karena memang di rumahnya tidak pernah disediakan jas hujan. Tak lama, setelah memotong beberapa bagian, jadilah sebuah jas hujan sederhana buatannya. Dengan langkah mantap, dia segera mengambil payung dan mulai keluar dari rumah.
“Ojek payung! Ojek payung!” teriak Mayla di tengah-tengah hujan yang kian deras.
Lima menit berlalu, mata Mayla berbinar cerah karena dia mulai mendapatkan pelanggan pertama, yang tak lain adalah Bu Fatimah, salah seorang tetangga yang hendak pergi ke warung terdekat.
“Mayla, bukannya kamu harus berangkat ke sekolah, ya? Kok malah ngojek payung?” tanya Bu Fatimah.
“Iya, Bu. Sepeda saya di rumah sedang rusak, dan ibu sedang tidak enak badan. Ditambah saya belum membayar uang buku tambahan. Dengan mengojek payung, lumayan uangnya bisa untuk membeli buku itu, Bu.”
“Ibu salut sama kamu, May. Kamu tidak lantas pasrah dengan keadaan, tapi bisa tetap berbakti pada ibumu dengan mencari uang melalui ojek payung ini. Ya sudah, ini buat kamu. Kembaliannya ambil saja. Semoga laris ojek payungnya, ya. Ingat, jangan keasyikan. Nanti malah terlambat ke sekolah,” ucap Bu Fatimah setelah sampai di warung.
“Terima kasih, Bu Fatimah. Siap, Bu!”
Mayla segera kembali lagi ke tempat semula dan beberapa kali mendapatkan pelanggan. Beruntungnya, dia selalu berangkat ke sekolah lebih awal. Jadi pekerjaan dadakan seperti ini tidak membuatnya terlambat ke sekolah. Setelah di rasa cukup, dia kembali ke rumah dan segera mengambil perlengkapan sekolahnya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggilnya. Ternyata dia adalah Ratna.
“Mayla! Tunggu!”
“Eh, kamu, Rat. Kamu jalan kaki?”
“Iya, aku sengaja mau temanin kamu.”
“Bukannya kamu paling ma—”
“Paling malas jalan kaki maksud kamu?”
“Hehe. Iya.”
“Aku tadi lihat kamu waktu mengantar Bu Fatimah ke warung. Kebetulan tadi aku juga ada keperluan di sana. Maaf kalau tadi aku nggak sengaja dengarin percakapan kamu sama Bu Fatimah. Semoga lekas sembuh buat ibumu, ya. Sekarang aku sadar, Ra. Ternyata kamu anak yang gigih dan mau bekerja keras tanpa rasa malu. Aku minta maaf soal yang kemarin ya, May!”
“Oh, nggak apa-apa kok, Rat. Justru aku bersyukur, berkat kamu, aku jadi semangat. Aku juga selalu mengingat nasihat dari ibu, supaya selalu berusaha dan berdoa agar mendapatkan rezeki. Sekarang sudah terbukti, dan aku bisa membeli buku tambahan dari hasil ojek payung tadi.”
Ratna dan Mayla saling melempar senyum di antara hujan yang mulai mereda. Mereka melanjutkan perjalanan ke sekolah. Sejak saat itulah, mereka menjadi sahabat karib. Sikap Ratna pun berubah seiring persahabatan yang baru terjalin itu. Kini dia mampu menghargai orang lain dan selalu mengingat nasihat dari ibunya. Sama seperti yang dilakukan Mayla.
Semarang, Desember 2019
Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 22 Desember 2019
Rabu, 25 Desember 2019
Rabu, 11 Desember 2019
Akibat Sifat Pemalas, oleh: Reni Asih Widiyastuti
Pagi ini, seperti biasa, Dodi berangkat ke sekolah lebih awal. Dia selalu seperti itu karena dia ingin membersihkan kelas, meskipun hari ini bukan jadwal piketnya. Setelah sampai di sekolah, Dodi langsung menuju kelas dan mulai menyapunya.
Sepuluh menit kemudian, teman-teman mulai berdatangan. Termasuk Andre. Andre dan dua teman dekatnya—Bagas dan Bagus—terlihat berbisik-bisik, seperti membicarakan sesuatu.
“Dod, aku pinjam buku PR-mu dong! Sebentar lagi bel masuk, nih! Aku belum mengerjakan PR matematika!” ucap Andre pada Dodi sedikit kasar.
Dodi tersentak dan meletakkan sapu yang dipegangnya di samping bangku.
“Ndre, bukannya aku tidak mau meminjamimu. Tapi kalau kamu menyontek, bagaimana kamu nantinya? Kamu harus berusaha mengerjakan PR sendiri, sampai kamu benar-benar bisa! Apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas, kan?”
“Ah, aku malas! Menyontek punyamu saja, toh Bu Guru tidak tahu!” balas Andre.
“Ayo cepat, berikan buku PR-mu!” teriak Bagas.
“Iya, cepat. Nanti keburu Bu Guru Aisyah datang!” Bagus tak mau kalah menambahi.
Andre didukung dua temannya itu. Mau tak mau, Dodi akhirnya mengeluarkan buku PR matematikanya dari dalam tas. Sebenarnya dia kecewa bukan karena mereka menyontek hasil kerja kerasnya, melainkan karena sifat pemalas mereka.
***
Pulang sekolah, Andre dan dua temannya menghampiri sepeda Dodi yang diparkir tak jauh dari sepeda mereka. Sepertinya mereka hendak melakukan sesuatu. Benar saja, Andre segera melancarkan aksinya. Yaitu sengaja mengempiskan ban sepeda Dodi.
Andre celingak-celinguk, memastikan tidak ada guru atau siswa yang melihat.
“Ndre, ayo cepat!”
“Sssttt ... kamu ini, malah diam saja! Bantu aku!”
“Iya, iya!”
Andre, Bagas dan Bagus telah selesai membuat ban Dodi kempis. Namun bersamaan dengan itu, Dodi melihat mereka. Dia diam saja, tak menegur atau meneriaki mereka. Setelah mereka pergi, barulah Dodi menghampiri sepedanya. Dia sangat sedih, mengapa teman-temannya begitu tega? Batinnya. Tapi Dodi tak putus asa. Dia akan meminjam pompa angin pada Bapak penjaga sekolah, pikirnya.
Syukurlah, Bapak penjaga sekolah mau membantu Dodi dengan sukarela. Setelah dirasa cukup, Dodi pun pamit pulang. Di perjalanan, Dodi masih tak habis pikir dengan kelakuan Andre dan teman-temannya. Tapi biarlah. Besok atau entah kapan, aku yakin mereka akan jera, batinnya.
***
Keesokan harinya, Bu Aisyah mengadakan ulangan matematika dadakan. Terang saja Andre, Bagas dan Bagus yang pemalas itu kelimpungan bukan main. Mereka akhirnya mengerjakan soal-soal ulangan dengan asal-asalan. Lain halnya dengan Dodi, Dodi mengerjakan dengan senyuman. Sebab dia rajin belajar dan kebetulan materi soal ulangan dadakan kali ini sama dengan materi belajarnya semalam.
Ulangan matematika berjalan dengan cepat. Bu Aisyah mengoreksi semua lembar ulangan siswa saat itu juga. Andre, Bagas dan Bagus terlihat sangat gelisah.
“Kita pasti dapat nilai jelek, nih!” bisik Andre pada dua temannya.
“Ah, kalau saja kita tadi menyontek, pasti kita dapat nilai bagus!” ujar Bagas tak kalah cemasnya.
“Tapi kan tadi kalian tahu sendiri. Dodi pelit! Dia tak mau meminjami lembar ulangannya,” kata Bagus.
Tibalah saat nama Andre disebut Bu Aisyah, disusul nama Bagas dan Bagus. Ketiganya ternyata hanya mendapatkan nilai 5. Sementara Dodi berhasil mendapatkan nilai 8. Tidak terlalu jelek, pikir Dodi sambil tersenyum lega.
Bu Aisyah pun memberikan pengumuman, siapa saja yang mendapatkan nilai di bawah 6, harus dikenai sanksi. Yaitu berlari memutari lapangan sekolah sebanyak 5 kali.
Andre, Bagas dan Bagus amat geram. Ini semua karena Dodi!
***
Hari berikutnya, Andre, Bagas dan Bagus tak kunjung jera. Mereka berangkat pagi-pagi sekali. Mereka sengaja ingin mengotori kelas supaya Dodi semakin lelah saat membersihkannya nanti. Berbagai jenis sampah disebar di sana sini. Mulai dari kertas, bekas bungkus jajan, botol bekas, juga beberapa permen karet yang dikunyahnya. Namun saat hendak melangkah keluar kelas, tiba-tiba ia terpeleset. Ia terjatuh tepat di atas permen karet yang baru saja disebarnya.
“Aduh! Bagaimana ini? Permen karetnya menempel di celanaku! Kamu, sih!”
“Lhah, kok aku! Kan kamu sendiri yang punya ide!
“Sudah, sudah. Lebih baik kita cepat pergi dari sini. Sebelum ada yang melihat!”
Mereka bertiga saling menyalahkan. Bersamaan dengan itu, Dodi datang. Disusul oleh Bu Aisyah dan beberapa guru yang lain. Termasuk Bapak penjaga sekolah. Rupanya, Dodi diam-diam sudah menceritakan tentang Andre, Bagas dan Bagus—yang sangat pemalas dan jahil.
“Nah, itulah akibat untuk anak pemalas. Kemarin nilai kalian jelek karena malas belajar, sekarang kalian kena batunya karena malas bersih-bersih.” ujar Bu Aisyah seraya memandangi Andre, Bagas dan Bagus.
Ketiganya terdiam, terlebih Andre. Dia masih susah payah untuk bangun. Sementara itu, Dodi dan Bapak penjaga sekolah menahan tawa. Yes, berhasil! pekik Dodi dalam hati.
Semarang, 31 Juli 2019
Sepuluh menit kemudian, teman-teman mulai berdatangan. Termasuk Andre. Andre dan dua teman dekatnya—Bagas dan Bagus—terlihat berbisik-bisik, seperti membicarakan sesuatu.
“Dod, aku pinjam buku PR-mu dong! Sebentar lagi bel masuk, nih! Aku belum mengerjakan PR matematika!” ucap Andre pada Dodi sedikit kasar.
Dodi tersentak dan meletakkan sapu yang dipegangnya di samping bangku.
“Ndre, bukannya aku tidak mau meminjamimu. Tapi kalau kamu menyontek, bagaimana kamu nantinya? Kamu harus berusaha mengerjakan PR sendiri, sampai kamu benar-benar bisa! Apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas, kan?”
“Ah, aku malas! Menyontek punyamu saja, toh Bu Guru tidak tahu!” balas Andre.
“Ayo cepat, berikan buku PR-mu!” teriak Bagas.
“Iya, cepat. Nanti keburu Bu Guru Aisyah datang!” Bagus tak mau kalah menambahi.
Andre didukung dua temannya itu. Mau tak mau, Dodi akhirnya mengeluarkan buku PR matematikanya dari dalam tas. Sebenarnya dia kecewa bukan karena mereka menyontek hasil kerja kerasnya, melainkan karena sifat pemalas mereka.
***
Pulang sekolah, Andre dan dua temannya menghampiri sepeda Dodi yang diparkir tak jauh dari sepeda mereka. Sepertinya mereka hendak melakukan sesuatu. Benar saja, Andre segera melancarkan aksinya. Yaitu sengaja mengempiskan ban sepeda Dodi.
Andre celingak-celinguk, memastikan tidak ada guru atau siswa yang melihat.
“Ndre, ayo cepat!”
“Sssttt ... kamu ini, malah diam saja! Bantu aku!”
“Iya, iya!”
Andre, Bagas dan Bagus telah selesai membuat ban Dodi kempis. Namun bersamaan dengan itu, Dodi melihat mereka. Dia diam saja, tak menegur atau meneriaki mereka. Setelah mereka pergi, barulah Dodi menghampiri sepedanya. Dia sangat sedih, mengapa teman-temannya begitu tega? Batinnya. Tapi Dodi tak putus asa. Dia akan meminjam pompa angin pada Bapak penjaga sekolah, pikirnya.
Syukurlah, Bapak penjaga sekolah mau membantu Dodi dengan sukarela. Setelah dirasa cukup, Dodi pun pamit pulang. Di perjalanan, Dodi masih tak habis pikir dengan kelakuan Andre dan teman-temannya. Tapi biarlah. Besok atau entah kapan, aku yakin mereka akan jera, batinnya.
***
Keesokan harinya, Bu Aisyah mengadakan ulangan matematika dadakan. Terang saja Andre, Bagas dan Bagus yang pemalas itu kelimpungan bukan main. Mereka akhirnya mengerjakan soal-soal ulangan dengan asal-asalan. Lain halnya dengan Dodi, Dodi mengerjakan dengan senyuman. Sebab dia rajin belajar dan kebetulan materi soal ulangan dadakan kali ini sama dengan materi belajarnya semalam.
Ulangan matematika berjalan dengan cepat. Bu Aisyah mengoreksi semua lembar ulangan siswa saat itu juga. Andre, Bagas dan Bagus terlihat sangat gelisah.
“Kita pasti dapat nilai jelek, nih!” bisik Andre pada dua temannya.
“Ah, kalau saja kita tadi menyontek, pasti kita dapat nilai bagus!” ujar Bagas tak kalah cemasnya.
“Tapi kan tadi kalian tahu sendiri. Dodi pelit! Dia tak mau meminjami lembar ulangannya,” kata Bagus.
Tibalah saat nama Andre disebut Bu Aisyah, disusul nama Bagas dan Bagus. Ketiganya ternyata hanya mendapatkan nilai 5. Sementara Dodi berhasil mendapatkan nilai 8. Tidak terlalu jelek, pikir Dodi sambil tersenyum lega.
Bu Aisyah pun memberikan pengumuman, siapa saja yang mendapatkan nilai di bawah 6, harus dikenai sanksi. Yaitu berlari memutari lapangan sekolah sebanyak 5 kali.
Andre, Bagas dan Bagus amat geram. Ini semua karena Dodi!
***
Hari berikutnya, Andre, Bagas dan Bagus tak kunjung jera. Mereka berangkat pagi-pagi sekali. Mereka sengaja ingin mengotori kelas supaya Dodi semakin lelah saat membersihkannya nanti. Berbagai jenis sampah disebar di sana sini. Mulai dari kertas, bekas bungkus jajan, botol bekas, juga beberapa permen karet yang dikunyahnya. Namun saat hendak melangkah keluar kelas, tiba-tiba ia terpeleset. Ia terjatuh tepat di atas permen karet yang baru saja disebarnya.
“Aduh! Bagaimana ini? Permen karetnya menempel di celanaku! Kamu, sih!”
“Lhah, kok aku! Kan kamu sendiri yang punya ide!
“Sudah, sudah. Lebih baik kita cepat pergi dari sini. Sebelum ada yang melihat!”
Mereka bertiga saling menyalahkan. Bersamaan dengan itu, Dodi datang. Disusul oleh Bu Aisyah dan beberapa guru yang lain. Termasuk Bapak penjaga sekolah. Rupanya, Dodi diam-diam sudah menceritakan tentang Andre, Bagas dan Bagus—yang sangat pemalas dan jahil.
“Nah, itulah akibat untuk anak pemalas. Kemarin nilai kalian jelek karena malas belajar, sekarang kalian kena batunya karena malas bersih-bersih.” ujar Bu Aisyah seraya memandangi Andre, Bagas dan Bagus.
Ketiganya terdiam, terlebih Andre. Dia masih susah payah untuk bangun. Sementara itu, Dodi dan Bapak penjaga sekolah menahan tawa. Yes, berhasil! pekik Dodi dalam hati.
Semarang, 31 Juli 2019
Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 04 Agustus 2019
Sepatu Buat Rara, oleh: Reni Asih Widiyastuti
Sore ini, Gaga Si Gajah akan mengajak Ruru Si Rusa dan Rara Si Burung Dara bermain bulutangkis di depan rumahnya. Tak lupa, ia menyiapkan perlengkapan seperti: raket, kok, kaos dan celana olahraga, sepatu serta net.
Setelah Ruru dan Rara datang, mereka mulai mengatur arena permainan. Mula-mula, mereka membuat net. Fungsinya untuk membatasi daerah permainan dengan bentuk seperti jaring-jaring.
Tak lama kemudian, net pun jadi. Permainan pun dimulai.
Gaga memberikan pukulan. Rara menerima dengan tangkisan terbaiknya. Gaga pun tak kalah cerdik, membalasnya dengan pukulan smash! Tapi Ruru sigap menghalau, membuat Gaga sedikit kecewa.
Di tengah-tengah permainan, Gaga merasa kewalahan. Sebab, menurutnya permainan ini tak sebanding, yakni dua lawan satu.
“Hei, harusnya kita cari satu pemain lagi! Aku sangat kewalahan!” ucap Gaga seraya duduk di teras rumah.
“Panggil saja Nubee, dia kan suka sekali main bulutangkis. Dia juga jago lho?” timpal Rara.
“Benar juga kata Rara, Ga. Ayo, kita cari Nubee. Biasanya dia ada di taman!"
Namun, saat mereka hendak bergegas, tiba-tiba Gaga melihat Nubee melintas.
“Teman-teman, itu dia Nubee!” seru Gaga sambil menunjuk Nubee di seberang jalan.
“Nubee, kemarilah!” panggil Rara.
Nubee pun segera menghampiri mereka. Dia tampak bersemangat saat diajak bermain bulutangkis. Sebab itu adalah permainan yang sangat disukainya.
Nubee resmi bergabung. Gaga terlihat sangat senang karena sekarang formasi sudah lengkap. Dua lawan dua! Permainan pun berlanjut. Kedua tim sama kuat, meskipun tim Nubee lebih unggul, tapi tim Gaga mampu mengimbangi.
Tiba-tiba—saat hendak melakukan smash, Rara merasa ada yang aneh dengan sepatunya. Setelah dilihat, ternyata sepatunya rusak. Dia sangat sedih.
Permainan pun terpaksa dihentikan.
Nubee yang melihat salah satu sahabatnya sedih, akhirnya menemukan suatu ide.
“Bagaimana kalau kita belikan sepatu baru untuk Rara!” bisik Nubee sambil merangkul Ruru dan Gaga agar tak terdengar oleh Rara—yang terduduk lesu di teras rumah Gaga.
“Wah ... ide yang bagus, Nubee. Aku setuju,” ucap Ruru.
“Aku juga setuju, Nubee.”
“Oke, besok kan hari Minggu. Nah, kita beli sepatu di Cibaduyut saja.”
Cibaduyut sendiri merupakan salah satu sentra produksi kerajinan sepatu di Bandung, Jawa Barat. Tak heran, wisatawan yang berkunjung ke Indonesia selalu menyempatkan waktu mereka ke tempat ini.
Gaga, Ruru dan Nubee menghampiri Rara yang masih terlihat murung. Mereka berusaha menghiburnya. Di sela-sela itu, Nubee tersenyum. Besok, dia dan ketiga sahabatnya sepakat mengumpulkan uang untuk membeli sepasang sepatu baru buat Rara. Rara pasti senang sekali, batinnya.
Dimuat di Kompas Klasika edisi Minggu, 30 Juni 2019
Setelah Ruru dan Rara datang, mereka mulai mengatur arena permainan. Mula-mula, mereka membuat net. Fungsinya untuk membatasi daerah permainan dengan bentuk seperti jaring-jaring.
Tak lama kemudian, net pun jadi. Permainan pun dimulai.
Gaga memberikan pukulan. Rara menerima dengan tangkisan terbaiknya. Gaga pun tak kalah cerdik, membalasnya dengan pukulan smash! Tapi Ruru sigap menghalau, membuat Gaga sedikit kecewa.
Di tengah-tengah permainan, Gaga merasa kewalahan. Sebab, menurutnya permainan ini tak sebanding, yakni dua lawan satu.
“Hei, harusnya kita cari satu pemain lagi! Aku sangat kewalahan!” ucap Gaga seraya duduk di teras rumah.
“Panggil saja Nubee, dia kan suka sekali main bulutangkis. Dia juga jago lho?” timpal Rara.
“Benar juga kata Rara, Ga. Ayo, kita cari Nubee. Biasanya dia ada di taman!"
Namun, saat mereka hendak bergegas, tiba-tiba Gaga melihat Nubee melintas.
“Teman-teman, itu dia Nubee!” seru Gaga sambil menunjuk Nubee di seberang jalan.
“Nubee, kemarilah!” panggil Rara.
Nubee pun segera menghampiri mereka. Dia tampak bersemangat saat diajak bermain bulutangkis. Sebab itu adalah permainan yang sangat disukainya.
Nubee resmi bergabung. Gaga terlihat sangat senang karena sekarang formasi sudah lengkap. Dua lawan dua! Permainan pun berlanjut. Kedua tim sama kuat, meskipun tim Nubee lebih unggul, tapi tim Gaga mampu mengimbangi.
Tiba-tiba—saat hendak melakukan smash, Rara merasa ada yang aneh dengan sepatunya. Setelah dilihat, ternyata sepatunya rusak. Dia sangat sedih.
Permainan pun terpaksa dihentikan.
Nubee yang melihat salah satu sahabatnya sedih, akhirnya menemukan suatu ide.
“Bagaimana kalau kita belikan sepatu baru untuk Rara!” bisik Nubee sambil merangkul Ruru dan Gaga agar tak terdengar oleh Rara—yang terduduk lesu di teras rumah Gaga.
“Wah ... ide yang bagus, Nubee. Aku setuju,” ucap Ruru.
“Aku juga setuju, Nubee.”
“Oke, besok kan hari Minggu. Nah, kita beli sepatu di Cibaduyut saja.”
Cibaduyut sendiri merupakan salah satu sentra produksi kerajinan sepatu di Bandung, Jawa Barat. Tak heran, wisatawan yang berkunjung ke Indonesia selalu menyempatkan waktu mereka ke tempat ini.
Gaga, Ruru dan Nubee menghampiri Rara yang masih terlihat murung. Mereka berusaha menghiburnya. Di sela-sela itu, Nubee tersenyum. Besok, dia dan ketiga sahabatnya sepakat mengumpulkan uang untuk membeli sepasang sepatu baru buat Rara. Rara pasti senang sekali, batinnya.
Dimuat di Kompas Klasika edisi Minggu, 30 Juni 2019
Jam Tangan Inara, oleh: Reni Asih Widiyastuti
Wajah Inara terlihat murung karena teman-teman mengejek jam tangan kuno yang dipakainya. Padahal jam kuno itu adalah pemberian bapaknya.
Di usianya yang masih sepuluh tahun, Inara memang gemar sekali memakai barang-barang kuno, begitu juga saat di sekolah. Dia tidak pernah malu karena bapaknya justru memiliki kios kecil yang menjual barang-barang kuno di pasar.
“Kok masih ada ya yang mau pakai barang-barang kuno di zaman sekarang!” seru Nadia sambil sesekali melirik Inara.
“Iya, tuh! Aku juga heran. Apalagi rumahnya, Nad! Serem pokoknya! Hiiyyy ....”
“Kalau aku sih mana mau main ke rumahnya, nanti yang ada malah aku jadi ikut-ikutan kuno! Isshh ....” Nadia memasang muka jijik.
Sementara yang dibicarakan hanya sanggup menunduk tanpa membalas perkataan Nadia.
“Memangnya salah ya kalau aku memakai barang-barang kuno? Apa mereka malu punya teman seperti aku?” ucap Inara lirih.
Inara pun akhirnya berlalu dari hadapan Nadia dan teman-temannya, lalu pulang ke rumah.
Besoknya, Inara tidak masuk sekolah. Para murid saling berkasak-kusuk membicarakan ketidakhadirannya hari ini, terutama Siska—teman sebangkunya.
“Siska, kamu tahu kenapa Inara tidak masuk sekolah hari ini?” tanya Bu Wati di sela-sela mengajar.
“Emm ... saya tidak tahu, Bu,” jawab Siska sambil menggeleng lemah.
Wajahnya seketika diliputi rasa gelisah yang luar biasa, seperti cemas kalau terjadi sesuatu pada Inara.
“Mungkin dia malu, Bu!” celetuk murid yang lain.
“Betul, Bu! Dia pasti malu! Dia kan aneh, kuno! Zaman sekarang kok masih mau pakai barang-barang antik! Horor, Bu! Hiiyyy ....” Nadia turut menambahkan.
Suasana kelas pun mendadak jadi gaduh. Wajah Bu Wati terlihat prihatin menatap murid-muridnya yang justru malah membuat keributan di tengah-tengah pelajaran.
“Sudah, sudah! Ibu minta kalian bisa tenang, ya! Kita lanjutkan pelajaran dulu!” ucap Bu Wati kemudian sambil memberi kode dengan kedua tangannya.
***
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Bu Wati segera menghampiri Siska, sepertinya hendak bertanya sesuatu.
“Siska, kamu mau menemani Ibu ke pasar? Nanti kita sekalian mampir ke kios bapaknya Inara,” tanya Bu Wati dengan wajah semringah.
“Wah, kebetulan sekali, Bu! Rencananya, saya juga mau ke sana!”
“Nah, ayo berangkat!”
Setelah sampai di pasar, mata Bu Wati dan Siska tak henti-hentinya menatap berbagai barang kuno di kios-kios. Ada uang koin, kertas kuno, topeng, piring kuno, keris, batik, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saat melihat-lihat itulah, mereka tak sengaja bertemu dengan Inara. Inara kemudian bercerita bahwa dia harus menggantikan menjaga kios karena bapaknya mendadak sakit.
“Wah, aku kira kamu malu karena teman-teman mengejekmu, Ra!” ucap Siska seraya merangkul Inara.
“Tidaklah. Aku justru bangga, karena bapak membiayai sekolahku ya dengan berjualan barang-barang kuno. Salah satunya jam tangan ini.”
Inara mengelus jam tangan kuno pemberian bapaknya itu dengan senyum bangga.
Dua hari berselang, Inara masih saja tidak masuk sekolah. Bu Wati mulai merasa khawatir jika Inara ketinggalan pelajaran terlalu jauh. Kemudian beliau menghampiri Inara lagi di kios bapaknya.
Wajah Inara berseri-seri saat Bu Wati menawarkan sesuatu yang tidak disangka-sangka.
***
Nadia sangat penasaran dengan kerumunan di dekat gerbang sekolah saat beberapa menit menjelang bel masuk berbunyi. Setelah berhasil menembus kerumunan itu, ternyata dia melihat Inara yang tengah duduk di atas kursi kecil. Di depannya sudah tertata berbagai macam barang-barang kuno.
Nadia menghasut teman-temannya supaya membubarkan diri, tapi sia-sia. Bu Wati tiba-tiba datang dan menasihatinya.
“Nadia, ibu rasa kamu sudah keliru menilai kalau Inara malu menggunakan barang-barang kuno. Lihatlah, dia tetap masuk sekolah bahkan rela berjualan di sekolah.”
“Tapi, Bu. Bukannya nanti malah mengganggu kegiatan di sekolah?”
“Tidak ada yang merasa terganggu, Nadia. Lagipula ibu yang mengusulkan ide itu dan kepala sekolah juga menyetujui. Kamu juga bisa lihat sendiri, murid-murid sangat antusias melihat dan membeli barang-barang kuno itu.”
Mendengar penjelasan Bu Wati, Nadia tertunduk malu karena merasa bersalah telah menuduh Inara yang bukan-bukan. Dia pun akhirnya dengan berbesar hati, kembali menerobos kerumunan murid-murid dan meminta maaf pada Inara.
“Aku minta maaf ya, Ra. Aku sudah salah menilai kamu. Mulai hari ini, aku akan belajar menghargai orang lain.”
“Iya, Nad. Aku sudah memaafkanmu dari dulu kok!”
“Best friend, ya?”
Inara dan Nadia saling mengaitkan jari kelingking mereka. Teman-teman yang lain bersorak-sorak. Sejak saat itu, Inara dan Nadia menjadi sahabat karib. Nadia sering membantu Inara berjualan barang-barang kuno. Lalu, keuntungan dari penjualannya dibelikan buku pelajaran tambahan.
Sepulang sekolah mereka belajar bersama. Hari ini di rumah Inara, besoknya di rumah Nadia. Begitu seterusnya. Nadia pun sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Inara yang tidak hanya baik, tapi juga berprestasi dan pekerja keras.
Semarang, Agustus-November 2019
Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 08 Desember 2019
Di usianya yang masih sepuluh tahun, Inara memang gemar sekali memakai barang-barang kuno, begitu juga saat di sekolah. Dia tidak pernah malu karena bapaknya justru memiliki kios kecil yang menjual barang-barang kuno di pasar.
“Kok masih ada ya yang mau pakai barang-barang kuno di zaman sekarang!” seru Nadia sambil sesekali melirik Inara.
“Iya, tuh! Aku juga heran. Apalagi rumahnya, Nad! Serem pokoknya! Hiiyyy ....”
“Kalau aku sih mana mau main ke rumahnya, nanti yang ada malah aku jadi ikut-ikutan kuno! Isshh ....” Nadia memasang muka jijik.
Sementara yang dibicarakan hanya sanggup menunduk tanpa membalas perkataan Nadia.
“Memangnya salah ya kalau aku memakai barang-barang kuno? Apa mereka malu punya teman seperti aku?” ucap Inara lirih.
Inara pun akhirnya berlalu dari hadapan Nadia dan teman-temannya, lalu pulang ke rumah.
Besoknya, Inara tidak masuk sekolah. Para murid saling berkasak-kusuk membicarakan ketidakhadirannya hari ini, terutama Siska—teman sebangkunya.
“Siska, kamu tahu kenapa Inara tidak masuk sekolah hari ini?” tanya Bu Wati di sela-sela mengajar.
“Emm ... saya tidak tahu, Bu,” jawab Siska sambil menggeleng lemah.
Wajahnya seketika diliputi rasa gelisah yang luar biasa, seperti cemas kalau terjadi sesuatu pada Inara.
“Mungkin dia malu, Bu!” celetuk murid yang lain.
“Betul, Bu! Dia pasti malu! Dia kan aneh, kuno! Zaman sekarang kok masih mau pakai barang-barang antik! Horor, Bu! Hiiyyy ....” Nadia turut menambahkan.
Suasana kelas pun mendadak jadi gaduh. Wajah Bu Wati terlihat prihatin menatap murid-muridnya yang justru malah membuat keributan di tengah-tengah pelajaran.
“Sudah, sudah! Ibu minta kalian bisa tenang, ya! Kita lanjutkan pelajaran dulu!” ucap Bu Wati kemudian sambil memberi kode dengan kedua tangannya.
***
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Bu Wati segera menghampiri Siska, sepertinya hendak bertanya sesuatu.
“Siska, kamu mau menemani Ibu ke pasar? Nanti kita sekalian mampir ke kios bapaknya Inara,” tanya Bu Wati dengan wajah semringah.
“Wah, kebetulan sekali, Bu! Rencananya, saya juga mau ke sana!”
“Nah, ayo berangkat!”
Setelah sampai di pasar, mata Bu Wati dan Siska tak henti-hentinya menatap berbagai barang kuno di kios-kios. Ada uang koin, kertas kuno, topeng, piring kuno, keris, batik, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saat melihat-lihat itulah, mereka tak sengaja bertemu dengan Inara. Inara kemudian bercerita bahwa dia harus menggantikan menjaga kios karena bapaknya mendadak sakit.
“Wah, aku kira kamu malu karena teman-teman mengejekmu, Ra!” ucap Siska seraya merangkul Inara.
“Tidaklah. Aku justru bangga, karena bapak membiayai sekolahku ya dengan berjualan barang-barang kuno. Salah satunya jam tangan ini.”
Inara mengelus jam tangan kuno pemberian bapaknya itu dengan senyum bangga.
Dua hari berselang, Inara masih saja tidak masuk sekolah. Bu Wati mulai merasa khawatir jika Inara ketinggalan pelajaran terlalu jauh. Kemudian beliau menghampiri Inara lagi di kios bapaknya.
Wajah Inara berseri-seri saat Bu Wati menawarkan sesuatu yang tidak disangka-sangka.
***
Nadia sangat penasaran dengan kerumunan di dekat gerbang sekolah saat beberapa menit menjelang bel masuk berbunyi. Setelah berhasil menembus kerumunan itu, ternyata dia melihat Inara yang tengah duduk di atas kursi kecil. Di depannya sudah tertata berbagai macam barang-barang kuno.
Nadia menghasut teman-temannya supaya membubarkan diri, tapi sia-sia. Bu Wati tiba-tiba datang dan menasihatinya.
“Nadia, ibu rasa kamu sudah keliru menilai kalau Inara malu menggunakan barang-barang kuno. Lihatlah, dia tetap masuk sekolah bahkan rela berjualan di sekolah.”
“Tapi, Bu. Bukannya nanti malah mengganggu kegiatan di sekolah?”
“Tidak ada yang merasa terganggu, Nadia. Lagipula ibu yang mengusulkan ide itu dan kepala sekolah juga menyetujui. Kamu juga bisa lihat sendiri, murid-murid sangat antusias melihat dan membeli barang-barang kuno itu.”
Mendengar penjelasan Bu Wati, Nadia tertunduk malu karena merasa bersalah telah menuduh Inara yang bukan-bukan. Dia pun akhirnya dengan berbesar hati, kembali menerobos kerumunan murid-murid dan meminta maaf pada Inara.
“Aku minta maaf ya, Ra. Aku sudah salah menilai kamu. Mulai hari ini, aku akan belajar menghargai orang lain.”
“Iya, Nad. Aku sudah memaafkanmu dari dulu kok!”
“Best friend, ya?”
Inara dan Nadia saling mengaitkan jari kelingking mereka. Teman-teman yang lain bersorak-sorak. Sejak saat itu, Inara dan Nadia menjadi sahabat karib. Nadia sering membantu Inara berjualan barang-barang kuno. Lalu, keuntungan dari penjualannya dibelikan buku pelajaran tambahan.
Sepulang sekolah mereka belajar bersama. Hari ini di rumah Inara, besoknya di rumah Nadia. Begitu seterusnya. Nadia pun sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Inara yang tidak hanya baik, tapi juga berprestasi dan pekerja keras.
Semarang, Agustus-November 2019
Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 08 Desember 2019
Langganan:
Komentar (Atom)



