Selasa, 21 Juli 2020

Resensi: Mengemas Luka Menjadi Cerita



Judul: Kau yang Menikah dengan Batu
Penulis: Elfi Ratna Sari
Penerbit: AT Press Solo
Cetakan: Pertama, Maret 2020
Tebal: 179 halaman
ISBN: 978-623-7303-85-5
Peresensi: Reni Asih Widiyastuti
Alumni SMK Muhammadiyah 1
Semarang

Tak banyak orang yang mampu menyingkirkan luka di dalam hati. Namun, berbeda dengan penulis buku “Kau yang Menikah dengan Batu” ini. Ia bahkan sengaja mengemas luka-luka yang singgah ke dalam hidupnya, menjadi lembaran cerita.

Buku berisi 19 cerpen yang ditulis oleh Elfi Ratna Sari ini sebagian besar mengupas tentang kekecewaan seorang perempuan terhadap laki-laki. Membacanya, seolah-olah mewakili apa yang tersimpan di hati si penulis, seperti pencerminan dari kisah nyatanya sendiri.

Beberapa di antara cerpen tersebut mengesankan. Sebut saja cerpen dengan judul “Hantaran Pernikahan”. Berkisah tentang seorang perempuan bernama Elsa yang kesehariannya adalah sebagai pembuat hantaran pernikahan. Seorang kawan lamanya yang bernama Rud, tiba-tiba bertandang ke rumah bersama bocah berusia 3 tahun, yang katanya ingin dibuatkan hantaran pernikahan untuk sepupunya. Dia teramat lega, sebab bukan Rud yang hendak menikah.

“Mungkin saja dengan keadaan dia yang memintaku mengerjakan hantaran ini, kita bisa merajut tali asmara yang bertahun-tahun lalu telah terputus. Menyambungnya kembali dengan tali yang halal.” (Hal. 33)

Namun siapa sangka, bocah 3 tahun itu, ternyata anak Rud. Dalam hal ini, betapa sebuah kepercayaan dan keyakinan yang terlalu tinggi, bisa saja dapat menimbulkan luka yang menyesakkan dada. Untuk itu, bersikaplah dengan sewajarnya saja.

Begitu juga dengan cerpen “Kau yang Menikah dengan Batu”. Menceritakan seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki. Namun, laki-laki itu meninggalkannya saat ia tengah hamil. Bahwa sifat keras kepala, tanpa berpikir panjang, bisa menyengsarakan hidup.

“Itulah nasibmu yang menikah dengan batu. Dan kau mau tidak mau harus menerima kenyataaan ini.” (Hal. 41)

Atau di dalam cerpen “Hati yang Kau Sekap”. Seorang wanita yang statusnya tidak jelas karena ditinggalkan oleh sang suami. Bahkan sempat tak mengakui darah dagingnya sendiri.

Semua cerpen di atas seperti memiliki benang merah tentang luka seorang perempuan, meskipun di dalam cerpen-cerpen lain juga terdapat kesinambungan. Seperti: Lelaki yang Dimakan Ego, Panggung Kesedihan dan Surat untuk Ibu.

Namun, pada akhirnya penulis memang sudah tidak diragukan lagi dalam mengemas luka menjadi cerita. Sebuah buku yang sangat layak dibaca di kala senggang, memberikan pembelajaran, khususnya bagi kaun perempuan. Bahwa luka tak perlu dipendam. Luka harus dipaparkan menjadi untaian kalimat, yang setidaknya lama-kelamaan akan pudar dengan sendirinya.

Semarang, 06 Juli 2020
Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Selasa Pon, 21 Juli 2020

Gaun Merah Sandra, oleh: Reni Asih Widiyastuti

BEL pulang sekolah berbunyi. Murid-murid mulai berhamburan keluar kelas. Sementara itu, Alexa, Stevi dan Irene terlihat kasak-kusuk membicarakan acara pesta ulang tahun Mona nanti malam.Berbagai persiapan telah dilakukan, terutama Alexa. Alexa menunjukkan gaun baru yang baru saja dibelinya tempo hari bersama mamanya.

Stevi dan Irene terkesima melihat gaun itu. Pasti harganya sangat mahal. Tapi pantaslah jika Alexa mampu memiliki gaun sebagus itu. Alexa memang terkenal anak orang kayadangaya hidupnya mewah. Dia sering ke mal dan shoppingsampai yang tidak terlalu penting pun dia beli.

“Eh, kalian sudah beli gaun baru belum?” tanya Alexa seraya menatap Stevi dan Mona.

“Emm ... aku kan masih punya gaun yang lama, Lexa. Jadi buat apa beli yang baru,” ucap Stevi.

“Iya, betul. Aku juga pakai gaun lama kok. Lagipula kalau setiap pesta harus beli gaun baru, itu namanya pemborosan,” timpal Irene sambil melirik Stevi.

“Alah, kalian ini sok. Biasanya juga tinggal bilang sama mama kalian, terus besok dibelikan gaun baru. Iya, kan? Pasti bukan sama uang kalian sendiri. Ngaku saja, deh!” Alexa berkata, mencibir Stevi dan Irene.

Di sela-sela obrolan, tiba-tiba mata Alexa tertumbuk pada Sandra yang masih membereskan buku-buku ke dalam tas. Sandra belum keluar dari kelas karena tadi dia ketinggalan mencatat, karena memang Sandra adalah sekretaris kelas. Jadi wajar saja kalau dia sering pulang agak terlambat.

“Eh, teman-teman, kalian dengar, ya. Si anak pisang goreng itu mana mungkin punya gaun bagus kayak kita, jadi pasti dia tidak bakalan hadir nanti malam!” ejek Alexa mati-matian.

Sandra yang mendengarnya sedikit tersentak, namun tidak dihiraukan olehnya. Sebagai gantinya, dia tersenyum membayangkan gaun cantik yang akan dia kenakan nanti malam.

***

Malam hari di acara pesta ulang tahun Mona.

Mona terlihat sangat cantik di antara tamu-tamu pesta. Begitu juga Alexa, Stevi dan Irene. Mereka mengenakan gaun-gaun yang sangat bagus. Semua mata tertuju pada mereka. Alexa berjalan begitu sombongnya sampai-sampai dia tidak tahu ada kursi di depannya. Dia pun terjatuh.

“Auu!! Sakit!” erang Alexa seraya memegang lututnya.

“Makanya, kalau jalan itu lihat-lihat. Jadi gini, kan?” Stevi membantu sahabatnya itu untuk bangkit.

“Eh, itu kan Sandra!”

“Iya, betul! Aku kira dia tidak bakal hadir lho? Mana gaunnya bagus banget!”

“Benar. Cantik banget!”

Suara-suara itu membuat Alexa, Stevi dan Irene sangat penasaran. Mereka seketika menoleh ke arah yang ditunjuk oleh teman-teman. Di sana ada Sandra yang sangat cantik, anggun dan menawan. Tentu saja dengan gaun merah yang dikenakannya. Sangat pas dipadu dengan sepatu highheelsberwarna hitam.

Sandra berjalan melintas di depan Alexa, Stevi dan Irene. Kali ini semua mata beralih, tertuju pada Sandra. Sandra pun melirik sekilas pada Alexa dan kedua sahabatnya itu. Mereka melongo seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Sandra terus melangkah dan menyalami Mona, lalu mencium pipi kanan dan kirinya. Tak lupa dia mengucapkan selamat.

“Selamat ulang tahun, Mona. Kamu cantik banget!” puji Sandra.

“Ah, kamu ini bisa saja, San. Ngomong-omong, kamu juga tidak kalah cantik kok!” Mona balas memuji.

Percakapan yang sayup-sayup terdengar oleh Alexa itu sontak membuatnya marah. Dia tidak ingin berlama-lama di acara pesta itu. Sebab sejak kehadiran Sandra, semakin tidak ada yang memerhatikannya. Semua berpaling ke Sandra!

Alexa lalu mengajak Stevi dan Irene untuk meninggalkan pesta secara mendadak. Stevi dan Irene sempat mempertanyakan, tapi Alexa terus saja meminta agar mereka mau ikut meninggalkan pesta.

***

Pukul 06.15 WIB di sekolah.

Para siswa terlihat berkerumun di depan mading sekolah. Sandra yang baru saja sampai di sekolah juga penasaran. Ada apa sebenarnya? Apakah ada pengumuman penting? Sandra meminta ruang pada teman-temannya agar dia bisa melihat isi mading.

Mata Sandra membelalak tak percaya saat melihat isi mading. Di sana ada fotonya dengan tulisan besar: SANDRA SI TUKANG PENCURI. Air mata Sandra tak dapat dibendung lagi. Teman-teman di sekitarnya pun mulai mengolok-olok. Sandra berlari di sepanjang koridor kelas. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Mona.

“Kamu kenapa, San?”
Sandra tidak menjawab, hanya linangan air mata sebagai gantinya.

“Memangnya kamu belum lihat mading hari ini?”

“Ada apa sih memangnya?” Mona balas bertanya.

“Ini, baca!”

Selembar kertas bertuliskan “SANDRA SI TUKANG PENCURI” itu dilayangkan di depan Mona. Mona segera memungut dan mulai membacanya. Dia menatap Sandra dan mencoba menenangkannya.

Mona akhirnya menjelaskan semuanya. Bahwa dua hari yang lalu Sandra sempat bercerita kalau gaun merah itu dibeli dari hasil dia berjualan pisang goreng selama ini. Laba dari penjualan dikumpulkan sedikit demi sedikit. Mona juga bilang kalau dia sering membeli pisang goreng itu jika Sandra lewat di depan rumahnya.

“Nah, sekarang sudah jelas, kan? Jadi jangan asal menghakimi seseorang kalau kita belum ada bukti apa-apa.”

“Tapi, Mon. Siapa yang tega melakukan ini sama Sandra?”

“Iya. Harusnya dia minta maaf, tuh!”

Murid-murid semakin riuh berkomentar. Sementara itu, Alexamundur beberapa langkah sambil terus menunduk. Mona menatap Alexa dengan tajam.

“Apa kamu pelakunya, Lexa?”

Suasana tiba-tiba hening.

“A—aku minta maaf, San. Aku sudah jahat sama kamu.”

“Huuu ... dasar!Percuma punya wajah cantik tapi hatimu jahat!”

Murid-murid yang lain perlahan membubarkan diri dan masuk ke kelas masing-masing seiring bunyi bel masuk.Begitu juga dengan Mona sambil memapah Sandra dan meninggalkan Alexa yang masih terpaku. Sejak kejadian itu, Stevi dan Irene juga mengambil jarakdari Alexa.

Semarang,  25 Juli 2019
Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 02 Agustus 2019

Cantik Itu Relatif, oleh: Reni Asih Widiyastuti

Nara membetulkan kacamatanya yang melorot ketika membaca sebuah brosur di tangannya. Di dalam brosur tersebut jelas tertulis “KONTES KECANTIKAN NASIONAL 2019”. Selama ini memang dia belum pernah mengikuti kontes semacam itu. Yang ada justru perlombaan di bidang akademik. Berbagai gelar mampu dia raih dengan mudah, karena memang ia langganan juara kelas. Maka tak heran jika teman-teman sekelas sering mengajaknya belajar kelompok.

Sama seperti halnya malam ini, Nara akan belajar kelompok di rumah Kia. Dia terlihat bersemangat karena bisa sekalian belajar make-up dengan Kia. Kia yang tak lain adalah salah satu murid paling cantik di kelas itu terkenal pintar memoles wajah, walaupun hanya minimalis. Selama masih dalam batas wajar, guru-guru mampu memaklumi dan tak pernah menegurnya.

Tepat pukul 7, Nara sampai di rumah Kia. Kia terlihat cantik meski hanya memakai setelan sederhana. Tak lupa dandanan simpel menghias wajahnya. Hal itu sontak saja membuat Nara semakin kagum.

“Kia, kamu kok bisa cantik begitu, sih? Jago make-up lagi!” puji Nara sesaat setelah dia dipersilakan masuk oleh Kia.

Yang dipuji hanya tersenyum simpul. Seolah-olah itu bukan hal yang istimewa bagi Kia.

“Cantiknya seorang cewek itu relatif lho, Ra?” timpal Kia kemudian.

“Maksud kamu?”

“Ya relatif. Jadi kamu bisa bilang aku cantik, belum tentu orang lain berpendapat sama dengan kamu.”

“Eh, benarkah?” Nara terperangah.

“Iyalah. Memangnya kenapa, sih? Kok kayaknya dari tadi kamu nggak puas sama jawabanku?”

“Oh, nggak. Nggak apa-apa kok. Ya sudah, kita belajar sekarang, yuk!”

Kia masih menatap Nara untuk beberapa saat sambil membuka buku-buku yang sudah tertata di meja. Sedangkan Nara hanya sanggup menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Kegugupan itu tak kunjung hilang sampai belajar kelompok selesai. Nara pun mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Kia: bagaimana caranya berdandan.

***

Esok harinya, saat Nara sampai di gerbang sekolah, dia tak sengaja menabrak salah satu murid yang ternyata adalah Arga, si ketua OSIS. Nara mengaduh kesakitan dan Arga pun refleks membantunya berdiri.

“Kamu nggak apa-apa, Ra?” tanya Arga kemudian sambil menatap Nara, memastikan semua baik-baik saja.

“Eh, nggak kok. Nggak apa-apa. Cuma lecet sedikit. Nanti aku mampir ke UKS, deh!” terang Nara.

“Syukurlah kalau begitu. Eh, tapi ngomong-omong, kenapa kamu nggak pakai kacamata?”

“Oiya, aku lupa, Ga!” Nara menepuk jidatnya.

“Kok bisa sampai lupa, sih? Pasti buru-buru, ya? Ya sudah, hati-hati jalannya. Aku mau ke kelas dulu.”

Nara hanya mengangguk pelan seiring Arga yang melenggang pergi. Sebenarnya bukan karena lupa, tapi memang dari rumah dia sengaja meninggalkan kacamatanya di atas meja. Hari ini dia bertekad untuk tidak memakai kacamata, bahkan mungkin untuk seterusnya. Baginya, memakai kacamata membuat dia kelihatan lebih tua dan kuno.
Bukan hanya berusaha menanggalkan kacamata saja. Seiring hari berlanjut, Nara mulai keasyikan melakukan diet ketat. Sampai ibunya sering marah-marah lantaran dia ketahuan tidak sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Alhasil, beberapa kali dia sempat pingsan mendadak. Kalau ditanya, alasannya selalu lupa atau buru-buru.

Tak cukup sampai di situ, Nara juga ketagihan ke mal sepulang sekolah. Lalu tak lupa ke salon seminggu sekali. Semua itu dia lakukan semata-mata agar menunjang penampilannya. Pokoknya harus perfect sebelum kontes kecantikan berlangsung. Lambat laun, tanpa sadar dia menjadi boros bukan main.

***

“Nara!” panggil Kia dari kejauhan.
Nara menoleh sekilas dan mulai berjalan agak lambat di sepanjang koridor kelas.

“Ra, kamu jadi bayar buku kumpulan soal-soal ujian, kan?”

“Ma, maaf, Kia. Aku belum ada uang.”

“Lho, katanya hari ini? Yang belum bayar tinggal kamu dan Bu Yayuk tadi minta tolong sama aku untuk menagih kamu.”

Nara hanya diam tanpa bisa membalas pernyataan Kia.

“Kamu nggak biasanya begini, deh! Dulu kamu selalu tercepat kalau urusan membayar buku. Dulu kamu selalu selesai duluan kalau disuruh mencatat. Tapi sejak kamu nggak pakai kacamata, kamu jadi sering tertinggal, Ra. Beberapa kali teman-teman juga sempat lihat kamu jalan di mal dan belanja nggak jelas. Nggak cuma itu, kamu juga ke salon akhir-akhir ini. Ya, kan? Duh, Ra! Jangan bilang kamu lebih mementingkan itu semua daripada prestasimu selama ini!” lanjut Kia dengan wajah sebal.

Nara mematung saat Kia menyudahi percakapan dan meninggalkannya sendirian. Mungkin di dalam pikirannya sedang menggantung pertanyaan: haruskah dia berhenti dan kembali seperti dulu lagi, atau tetap lanjut dengan mengikuti kontes yang bahkan belum pernah dia juarai itu.

Memang, setelah semua yang dia lakukan beberapa hari ini telah membuat teman-teman banyak memuji kecantikannya. Tapi tak jarang ada yang menyayangkan hal itu karena nilai-nilainya agak menurun.

Dalam pikiran yang sedang berkecamuk itulah, tiba-tiba Nara merasa kalau keadaan di sekitarnya seperti berputar. Dia berjalan sempoyongan sebelum sampai di depan kelas. Tepat setelah kaki kanannya menjejak ruang kelas, tubuh mungilnya limbung dan jatuh di atas lantai.

Semua murid mulai mengerumuninya dan membawa ke UKS. Tapi Nara tak kunjung sadar. Untuk itulah, dia terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekat agar mendapatkan penanganan yang lebih baik. Syukurlah, setelah satu jam berlalu, Nara mulai sadar. Bu Yayuk dan beberapa murid  ikut serta termasuk Kia dan Arga. Namun yang diperbolehkan masuk ke dalam ruang perawatan hanya dua orang. Bu Yayuk dan Kia menawarkan diri.

“Aku sudah dengar soal kontes kecantikan itu, Ra. Kamu nggak usahlah ikut kontes itu. Menurutku kamu malah jadi orang lain. Arga juga bilang, kalau kamu sudah sembuh, jangan lupa pakai kacamata. Katanya kamu lebih cantik begitu, Ra,” bisik Kia di telinga Nara.

Tak terasa air mata Nara meleleh seiring senyum tulus Bu Yayuk. Sedangkan dibalik jendela, Arga terlihat melambaikan tangan. Samar-samar dari bahasa bibirnya seolah berucap: Cantik itu relatif.


Semarang,  29 Agustus 2019
Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 27 Oktober 2019

Minggu, 12 Juli 2020

Cuma Dua Ribu, oleh: Reni Asih Widiyastuti

Jon Koplo memiliki tiga orang anak. Yang pertama laki-laki, kedua perempuan, ketiga juga perempuan. Anak ketiganya yang bernama Lady Cempluk kebetulan sudah menikah dan punya 1 anak perempuan, namanya Genduk Nichole. Setiap hari Lady Cempluk bekerja dan sebagai ayah yang baik, Jon Koplo tak pernah absen untuk menjemputnya sepulang dari kantor.

Sore ini, waktunya Jon Koplo menjemput Lady Cempluk. Dia tidak lupa mengajak Genduk Nichole yang memang suka sekali diajak motor-motoran. Setelah sampai di tempat kerjanya Lady Cempluk, mereka tidak langsung pulang, melainkan sepakat untuk mampir ke supermarket dulu. Biasanya mereka mau membeli beras, mie instan dan telur.

Tak disangka, waktu sedang asyik-asyiknya naik motor dan hampir sampai di tempat tujuan, tiba-tiba Jon mengerem motornya secara mendadak. Lady Cempluk kaget bukan main sampai hampir mlumpat dari motor.

“Lho, lho, Pak. Ada apa?”

Sek tho. Mata bapak itu awas! Tadi kayaknya ada uang dua puluh ribu. Bapak mau mbalik, keburu diambil orang!”

“Yang bener, Pak? Wah, lumayan, bisa buat tambahan tumbas tigan!” seru Lady Cempluk kegirangan dan matanya berbinar-binar.

Sementara itu, Jon segera pasang kuda-kuda dan putar balik. Setelah mlipir pelan-pelan dan sampai di lokasi uang yang jatuh tadi, Lady Cempluk segera turun dari motor dan bersiap mengambil uang itu.

Lady Cempluk pun berusaha membuang jauh-jauh rasa malunya karena orang-orang di sekitarnya mulai memerhatikan. Bahkan tukang becak terlihat ada yang pringas-pringis. Waktu membungkuk hendak mengambil uang itu, Lady Cempluk seketika makplenggong karena ternyata uangnya tidak sesuai yang dibilang Jon tadi.

Uang itu langsung disambarnya dan dia bergegas membonceng lagi.

“Siapa bilang mata Bapak awas? Nih, cuma dua ribu lho, ya? Lady kan jadi malu dilihatin orang-orang kayak tadi, Pak!”kata Lady Cempluk sambil menyodorkan uang itu di depan Jon.

“Ya maaf, lha wong warnanya hampir mirip. Bapak kira ya dua puluh ribu!” Jon Koplo cengengesan seperti tidak punya salah.

Uang itu akhirnya dipegang Genduk Nichole. Setibanya di supermarket, Lady Cempluk bilang uangnya buat mbayar parkir saja.


Semarang, 29 Oktober 2019

Dimuat di Solopos edisi Senin, 25 November 2019

Calon Menantu, oleh: Reni Asih Widiyastuti

Menikah di usia dua puluh lima tahun. Itulah keinginan bapak yang selalu membuatku ingin muntah. Mengeluarkan isi perut hingga menguarkan bau amis karena saking tidak ada lagi yang sanggup kukeluarkan, selain air kuning pekat semacam obat yang digerus.

Beberapa hari terakhir bapak menyodorkan foto-foto wanita. Mulai dari anak sahabat bapak, tetangga sebelah rumah yang jarang pulang karena harus menempuh pendidikan di Amerika, sampai seorang guru mengaji yang sangat cantik dan santun.

Awalnya aku membiarkan bapak melakukanperjodohan itu, sambil mengulur-ulur waktu dan mencari alasan. Tapi lama-kelamaan beliau pun curiga, hingga bilang bahwa aku tidak doyan dengan perempuan. Ah, opini macam apa itu? Aku hanya tak ingin buru-buru menikah atas dasar keinginan beliau saja.
Menikah bukan hanya soal dua insan manusia dengan cinta dan kasih sayang, melainkan adalah bertemunya komitmen, rasa saling percaya dan pengertian. Malam ini,  bapak mampu menangkis pikiran jelekku, yaitu perpisahan.

"Mau jadi kepala rumah tangga macam apa kau? Belum apa-apa sudah berpikiran jelek!"

"Tapi aku tidak suka mereka, Pak."

"Tidak suka apanya? Suka bisa dipupuk, cinta juga lama-lama akan tumbuh!"

"Tapi tetap saja aku tidak suka, Pak."

"Alah ... paling-paling kau hanya butuh mereka mencintaimu. Toh nyatanya selama ini kau tak pernah jatuh cinta!"

Cetas!

Korek dinyalakan bapak. Rokok disulutnya. Asap mengepul di udara, bergerombol, lalu segera menghilang. Kopi hitam pun telah tandas sejak lima menit yang lalu. Bapak berlalu begitu saja. Tapi beliau memang benar, aku tak pernah jatuh cinta. Jatuh cinta itu membuat kau tak enak melakukan aktivitas apa pun, sebab wajah orang yang kaucintai akan menjadi bayang-bayang. Terkadang kau tertawa sendiri laiknya orang gila. Jantung mendadak berdebar kencang hanya karena orang lain menyebut namanya. Aku tahu semua itu saat tanpa sengaja mendengar percakapan beberapa kawan, bukan karena pernah merasakannya.

Dua puluh tahun yang lalu, aku masih ingat. Perihal jatuh cinta itu tak melulu kepada lawan jenis. Ibu yang mengatakannya. Beliau jatuh cinta pada Bunga Aster. Menurutnya, bunga itu sangat cantik. Mirip dengan Bunga Dandelion. Tapi beliau tetap lebih suka Bunga Aster. Terutama karena warnanya bermacam-macam. Setiap hari, beliau selalu datang ke toko bunga langganan. Membelinya seikat, lalu diletakkan di meja kamar hingga layu. Entah apa maksudnya. Mungkin seperti itu jatuh cinta universal versi beliau. Aku pun meniru, menyelisik kesukaanku terhadap sesuatu. Tapi hasilnya nihil. Aku tetap tak menemu rasa suka pada apa pun.

Sebab itu, ibu mulai memberikan pelajaran-pelajaran baru. Setiap weekend—pagi-pagi benar, beliau membawaku duduk bersantai di padang rumput belakang rumah. Jarinya menunjuk segala sesuatu yang terpampang di sana. Beberapa pohon, tanah, semut, cacing, juga termasuk titik-titik embun di dedaunan.

Sesekali beliau bertanya, "Apa ada yang kausukai?"

"Tidak ada, Bu," jawabku pendek sambil memainkan ujung rumput yang basah.

"Ya sudah, besok kita belajar yang lain saja."

Hanya anggukan sebagai pengganti jawabanku pada ibu. Itulah bedanya. Ibu sangat sabar, tak seperti bapak. Lalu beliau beralih dan menatap matahari yang mulai nampak. Bercerita pelan-pelan, tentang jaraknya yang sangat jauh, namun panasnya tetap terasa. Tentang kapan ia akan tenggelam.

"Seharusnya begitulah rasa suka. Seperti matahari. Dia tetap mampu memberikan kehangatan, meski jauh. Dia tak pernah egois, berbagi tempat dengan yang lain. Kau sudah paham?"

Aku diam. Tak mengangguk atau pun menggeleng. Wajahku mulai berkeringat karena matahari kian menyengat. Ibu segera menarik tanganku untuk meninggalkan padang rumput dan melangkah lebih cepat. Aku tahu mengapa ibu melakukannya. Pasti beliau cemas jika bapak sudah bangun dari tidurnya dan mendapati kami tak ada di rumah. Lebih-lebih kalau ibu belum menyiapkan secangkir kopi panas untuknya, pasti akan marah besar. Meski terlampau mudah marah, ibu sangat menyayangi bapak dan memaklumi sifatnya.

Dua hari kemudian, ibu benar-benar memberikan pelajaran baru. Beliau membawaku ke kebun milik bapak. Tak terlalu luas, hanya 2 petak atau sekitar 4.000 m2 dan ditanami jagung. Bapak memang sangat suka dengan biji-bijian. Sayang sekali, saat itu belum tiba masa panen. Mungkin harus menunggu sekitar dua bulan lagi. Berarti, kami belum bisa makan jagung dari hasil tanaman sendiri. Sementara itu, ibu mulai melesak ke dalam kebun setelah melepas sandal jepitnya. Ketika aku hendak menirunya, beliau melarang. Katanya, nanti kakiku bisa berdarah karena kemasukan sesuatu.

Maklumlah, waktu itu aku belum pernah ke kebun. Sebenarnya bapak tak pernah melarang untuk menanam, mencangkul dan sebagainya. Itu membuktikan bahwa kau lelaki sejati, katanya. Tapi lagi-lagi ibu yang menghalangi. Mengomel tidak karuan. Takut jika terjadi ini dan itu.

"Duduklah!" kata ibu setelah kami sampai di sebuah bangunan mirip rumah kecil, yang kini kutahu bernama saung.

Aku duduk di sebelah ibu. Dadanya naik turun—mengatur napas karena kelelahan berjalan. Aku bertanya padanya akan belajar apa kita hari ini. Dan cerita itu pun dimulai. Katanya, dulu, sebelum bapak berniat melamar ibu, kebun ini masih milik Pak Warto. Pak Warto adalah orang terkaya di desa ini. Sawahnya berhektar-hektar, punya pabrik di mana-mana, rumahnya pun banyak, hampir di setiap kota ada. Jadi, tak perlu mencari tempat penginapan kalau beliau ada tugas di luar kota.

Setelahnya, aku bertanya pada ibu, apakah cerita itu ada hubungannya dengan rasa suka. Lalu ibu memperbaiki posisi duduknya. Sebentar kemudian matanya menatap ke depan. Tempat di mana jagung-jagung sebentar lagi akan siap dipanen. Seolah-olah, cerita tentang rasa suka itu ada di sana. Tiba-tiba telunjuk ibu mengarah pada sebuah tembok yang separuhnya tertutup rumput. Jika kuingat-ingat, tingginya sekitar lima meter. Lalu, ada sebuah tangga kayu yang sengaja dibiarkan tersandar di sampingnya.

Bapak biasa memanjat dengan tangga itu untuk mengantar makanan. Entah siapa yang dituju, tapi selalu bertepatan saat ibu melewatinya. Kebetulan, di balik tembok itu adalah jalan pulang ke rumah. Setiap hari, ibu mengurus sapi-sapi Pak Warto. Memberi makan, memandikan,membersihkan kandang, sampai memerah susu. Kadang-kadang, ibu juga mengantar susu perahan itu pada pembeli.

“Dari mana ibu tahu kalau itu bapak?”

“Ibu pernah memergoki bapakmu, suatu kali diberi tugas oleh Pak Warto menjaga kebun ini,” ucap ibu dengan tersenyum.

Aku tak lagi bertanya, selebihnya menatap ibu dengan saksama selama beliau bercerita. Tentang Pak Warto yang tiba-tiba jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Pak Warto pun menitipkan ibu pada bapak. Ternyata Pak Warto diam-diam mengetahui jika bapak juga suka dengan ibu. Memang seperti disengaja, tapi itulah takdir. Tuhan sudah mengaturnya dengan baik.

Sejak hari itu, aku selalu mengingat pelajaran dari ibu. Aku pun berhasil memiliki rasa suka pada lawan jenis. Tanpa berlama-lama, kumantapkan hati untuk meminang gadis itu. Sore yang dingin ini, aku bertekad hendak mengenalkannya pada bapak. Aku yakin, beliau akan senang sekali. Sebab calonku itu cantik, sehari-hari memakai kerudung dan orangnya santun. Hanya saja, dia sangat pendiam. Masa bodoh jika orang-orang bilang kalau dia bisu. Tetap saja aku suka. Tetap saja aku mencintainya.

Kulangkahkan kaki dengan mantap dan penuh rasa percaya diri—menuju kamar bapak. Sesampainya di depan pintu kamar, aku menarik napas dalam-dalam seraya menatap kekasihku. Kuelus kepalanya dengan lembut dan mengecup keningnya.

Tok-tok-tok

Aku mengetuk pintu kamar perlahan dan menunggu, tapi bapak tak membukanya. Kuketuk lagi, beliau belum juga membuka pintu. Hingga ketiga kali, akhirnya kuputuskan untuk langsung masuk ke kamar.

“Bapak, coba lihat! Aku membawa calon menantu impian bapak!”

Seketika mata bapak langsung tertuju pada gadisku. Sesaat kemudian, ekspresi beliau berubah. Kali ini matanya mendelik, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Aku begitu bangga, beliau seperti itu pasti karena terlampau bahagia.

Tapi ternyata dugaanku salah. Setelah melakukan diskusi sejenak, bapak bilang kalau calon pendampingku keras seperti batu. Aku sungguh tak mengerti, padahal dia cantik dan berkulit putih layaknya orang chinese. Setidaknya, dengan kriteria seperti itu, harusnya bapak terpesona. Aku terduduk lemas di samping tempat tidur bapak. Seketika air mataku bergulir dan berubah menjadi bah di wajahku.

Kupandang lekat wajah kekasihku, berharap dia mau memperjuangkan cinta ini bersama-sama. Tapi yang ada hanya geming dan langit-langit mulutku semakin ngilu seiring hatiku yang telah hancur disayat-sayat sembilu.


Semarang,  Juni 2017-Oktober2019

Dimuat di Medan Pos edisi Minggu, 17 November 2019

Kambing Hitam, oleh: Reni Asih Widiyastuti

Iqmal menyeret kambing hitam itu menjauh dari tempat penampungan hewan kurban. Langkahnya tergopoh-gopoh saat ia tahu kalau Pak Carik memergokinya. Tapi ia telah siap dengan sebilah pisau dibalik punggungnya.

“Mau kamu bawa ke mana kambing hitam itu, Mal? Ora isin (tidak malu) apa sama warga!” seru Pak Carik yang ternyata tak sengaja melihat Iqmal saat tadi sedang melintas.

Wis ben (biar saja)! Toh kambing hitam tetaplah kambing hitam!” Iqmal semakin mencengkeram tali yang mengikat kambing hitam itu.

Tapi podho wae koe maling (Tapi sama saja kamu mencuri!)”

“Kambing hitam tidak boleh dikurbankan!”

“Kata siapa?”

“Kata saya, Pak Carik!”

Pak Carik menggeleng-gelengkan kepala lantaran melihat kelakuan aneh Iqmal. Beliau menasihati Iqmal singkat. Iqmal pun akhirnya pergi setelah sebelumnya melepaskan kambing hitam itu.

Begitulah Iqmal beberapa bulan yang lalu, saat menjelang hari raya Iduladha. Mendadak dia menjadi sangat aneh. Sebelumnya, ada seorang warga yang hendak mengurbankan seekor sapi berwarna hitam, tapi ia tegas melarang dengan dalih bahwa sapi hitam tak boleh dibuat kurban. Warga itu pun akhirnya menuruti perkataan Iqmal dan mengganti sapi hitam tersebut dengan sapi putih. Pokoknya, semua yang berwarna hitam itu sesat menurut Iqmal.

Hal itu bukannya tidak berdasar, tapi memang sejak kecil Iqmal diajarkan oleh orang tuanya agar menghindari yang namanya kesesatan. Semua yang berkaitan dengan hitam dan gelap akan menjerumuskan ke arah yang tidak baik. Salah satu bukti nyata yang membuatnya percaya adalah pada saat pemilihan kepala desa. Waktu itu Pak Burhanlah yang dilantik menjadi kepala desa. Pak Burhan pun berniat mengendurikan seekor kerbau hitam.

“Lihat saja, Pak Burhan tidak akan lama menjabat sebagai kepala desa!” ucap Iqmal sehari setelah pengumuman dilantiknya kepala desa.

“Kenapa kamu yakin sekali, Mal?”

“Ya karena beliau mengendurikan kerbau hitam. Hitam kuwi (itu) gelap, sesat. Tidak baik pokoknya!”

“Lho, tapi kan niatnya buat selamatan. In syaa Allah tidak apa-apa, Mal.” Banu menepuk-nepuk pundak Iqmal, meyakinkan.

“Pokoknya podho wae (sama saja)!”

Benar saja, belum sampai enam tahun, Pak Burhan sudah lengser dari jabatannya sebagai kepala desa. Bukan karena tekanan dari berbagai pihak, melainkan sakit yang diderita secara mendadaklah yang mengakibatkan hal itu terjadi. Sampai akhirnya dia meninggal dunia.

Sejak saat itu, warga mulai sering membicarakan Iqmal yang konon mulai dipercaya dapat memprediksi segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal tidak baik. Seperti misalnya: jangan memancing di sungai yang airnya keruh, atau jangan berpakaian serba hitam di malam hari.

Meski terkesan tidak masuk akal, warga pun mulai mengakui bahwa Iqmal adalah seorang pemuda yang tak hanya pandai mengajari anak-anak mengaji, namun juga selalu mengingatkan untuk tidak berbuat jahat pada sesama.

Pagi ini, ketika semua warga mulai melupakan kejadian pencurian kambing hitam yang hendak dilakukan oleh Iqmal, tiba-tiba warga digegerkan oleh hilangnya seekor kambing hitam. Ya, kali ini benar-benar hilang dan tak ada satu pun yang menangkap basah siapa pelakunya. Suara kentungan segera terdengar membelah kesunyian. Warga mulai berdatangan menuju ke sumber suara. Ada yang masih berkalung sarung, ada juga yang lupa memakai alas kaki. Semua berkumpul menjadi satu, termasuk Iqmal.

Kambing irenge ilang (kambing hitamnya hilang), Pak Kades!” teriak warga yang membunyikan kentungan sambil menunjuk ke arah tempat penampungan hewan kurban.

“Hah, hilang!”

“Lho, bukannya setelah kejadian Iqmal, kambing di sini semua aman?”

Semua mata mulai tertuju pada Iqmal. Sedangkan yang dituju hanya sanggup melongo tanpa berujar apa-apa.

“Eh, bisa saja Iqmal yang mencuri kambing hitam itu!”

“Iya, Pak Kades. Selama ini kan dia yang ngotot kalau di desa kita ini jangan ada kambing atau sapi hitam!”

“Wah, ngawur (tidak benar) ini! Jangan asal main mengambinghitamkan saya to! Apa kalian punya bukti kalau saya yang ngambil?”

“Lha terus sopo maneh (siapa lagi)?”
Pak Kades terlihat bingung dengan berbagai perkataan dari warganya. Ia juga melihat Iqmal dengan saksama. Tak mungkin jika Iqmal nekat melakukan perbuatan yang sangat tidak berpendidikan itu. Bahkan sekarang Iqmal dikenal sebagai pemuda yang rajin beribadah. Ya, sejak ia dijadikan panutan dan mengajar mengaji anak-anak desa.

“Bukan saya pencurinya, Pak Kades.” Wajah Iqmal memelas sambil berlutut di hadapan Pak Kades.

“Halah, usir saja wong iki (orang ini), Pak Kades! Ngakunya orang baik, ibadah di masjid, mengajar ngaji, tapi kelakuannya busuk!”

“Sebentar, sebentar, kita dengarkan penjelasan dari Iqmal dulu,” ucap Pak Kades seraya mengangkat kedua tangannya untuk memberi isyarat pada warga supaya lebih tenang.

“Saya tadi dari rumah, Pak Kades. Terus mau ke masjid lebih awal. Tahu-tahu ada suara kentungan, karena panik ya ikut saja sama warga lain ke sini.”

“Nah, sudah jelas to (kan) sekarang?”

Warga akhirnya terpaksa membubarkan diri satu per satu, meski wajah mereka masih terlihat belum puas lantaran Iqmal tidak jadi diusir dari desa.

***

Dua hari setelah kejadian itu, Iqmal merenung. Ia tidak lagi memberikan nasihat-nasihat bijak untuk warga. Sebetulnya bukan tidak ingin, tapi wargalah yang mulai enggan mendengarkannya. Padahal ia sangat rindu pada anak-anak yang belajar mengaji. Duduk sambil berselawat. Ah, selebihnya ia hanya mampu uzlah di dalam masjid setelah anak-anak pulang belajar mengaji.

Ainun yang tak lain adalah putri Pak Kades—yang menggantikan Iqmal mengajar pun sempat menanyainya. Tapi Iqmal tetap saja diam dan tidak menjelaskan apa-apa. Hatinya sudah kadung sakit jika mengingat peristiwa yang telah menimpanya. Semua orang tetap saja menganggapnya sebagai pencuri, meski tidak ada satu pun bukti yang ditemukan.

Dalam kegelisahan hatinya, ia teringat oleh perkataan kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. “Kalau kamu mau jadi orang yang benar, kamu kudu (harus) mengajarkan kebenaran pada mereka, Le (Nak).” Tak terasa air matanya meleleh mengenang itu.

Iqmal pun memutuskan untuk meninggalkan desa secara diam-diam, agar hatinya tenang dan tidak dikungkung oleh rasa bersalah. Ya, ia memang merasa bersalah sejak membuat warga mulai percaya dengan nasihat-nasihatnya. Tapi karena itu jugalah, ia justru dikambinghitamkan oleh warga.

Iqmal membawa pakaian secukupnya dalam tas ransel. Ia memang sengaja tidak membawa semua karena suatu saat ingin kembali lagi, walau entah kapan. Mungkin sampai ia tidak dianggap pencuri lagi oleh warga. Mungkin sampai si pencuri asli itu tertangkap. Ya, mungkin.

Saat baru separuh perjalanan meninggalkan desa, ada seseorang yang mengajak Iqmal berbicara. Orang tersebut entah dari mana datangnya, kemudian mengatakan sesuatu yang sulit dipahami oleh Iqmal.

“Jangan pergi kecuali jika urusanmu sudah selesai.”

Iqmal menatap wajah orang itu dengan saksama. Anehnya, wajahnya tidak jelas. Selebihnya, Iqmal hanya mampu melihat orang itu yang perlahan melenggang pergi—meninggalkannya dalam diam.

Tidak cukup sampai di situ, langit yang tadi cerah, tiba-tiba saja berubah menjadi gelap. Gelegar petir saling sahut menyahut. Membuat Iqmal menutupi kedua telinganya. Hujan akhirnya turun. Iqmal buru-buru mencari tempat berteduh. Beruntung ada sebuah gubuk tak jauh dari tempatnya berdiri.

Sambil menunggu hujan reda, pikiran Iqmal kembali pada sosok yang baru ditemuinya tadi. Perkataan orang itu sungguh membuat hatinya ditikam keresahan bertubi-tubi. Seolah-olah ia tidak boleh pergi. Tapi apa urusan yang dimaksud? Bahkan warga desa pun sudah tak mau berurusan dengannya. Sebab kehadirannya memang sudah tidak dianggap lagi oleh warga.

Tak terasa, Iqmal pun tertidur. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Orang tuanya juga berpesan agar jangan pergi sebelum urusannya selesai. Iqmal sempat bertanya, apa maksud dari pesan tersebut. Tapi orang tuanya menggeleng dan menasihati agar ia mencari jawabannya sendiri.

Setelah itu, kedua orang tua Iqmal pergi. Iqmal tersenyum dan bertekad akan mencari jawaban tentang pesan tersebut. Namun tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu hingga ia jatuh.

Brukk!!

“Mal, Iqmal! Bangun! Pencuri kambing hitam itu wis ketemu (sudah ditemukan)!”

“Hah, opo (apa)?”

Iqmal mengerjap-ngerjapkan matanya dan refleks mengelap air kental yang tiba-tiba keluar ujung bibirnya dengan punggung tangan.

“Ayo ikut aku ke balai desa!”

Ternyata Banu yang membangunkan Iqmal dari tidur lelapnya. Sambil tertatih, Iqmal mengikuti langkah gegas Banu. Betapa kagetnya ia saat sampai di balai desa. Semua warga telah berkumpul. Di depan Pak Kades sudah berdiri seorang perempuan yang setelah ia amati adalah Ainun.

“Ma-maafkan saya, Pak Kades. Se-sebenarnya saya-lah yang memengaruhi semua warga agar mengambinghitamkan Bang Iqmal,” ucap Ainun dengan sedikit terbata.

Ia tak sanggup menatap Pak Kades. Begitu juga pada semua warga. Ia sangat malu. Sungguh malu. Apalagi jika harus meminta maaf langsung dengan Iqmal.

“Ainun ... Ainun. Kamu kok tega sekali sama Iqmal. Memangnya dia salah apa sama kamu?”

“Iya, benar. Kami menyesal karena kemarin sudah mendengarkan omong kosongmu sing ora ana gunane kuwi (yang tidak ada gunanya itu)!”

“Seharusnya kamu yang pergi dari kampung ini, bukan Iqmal!”

“Iya. Dasar!”

“Sudah, sudah! Jangan menyudutkan Ainun seperti itu. Kita harus mendengarkan penjelasan dari dia.” Pak Kades yang sejak tadi terlihat mencoba sedikit emosi akhirnya memotong perdebatan antar warga.

Dengan air mata yang berlelehan, Ainun pun menjelaskan mengapa ia melakukan semua itu pada Iqmal. Ia juga mengatakan jika selama ini ia terobsesi ingin mengajari anak-anak mengaji. Hanya saja cara yang ditempuhnya salah.

Sementara itu, Ainun berjanji akan mengembalikan kambing hitam yang telah dicurinya. Syukurlah, semua warga mau memaafkannya. Pertemuan itu ditutup dengan ide yang dicetuskan oleh Pak Kades. Beliau ingin Iqmal dan Ainun dapat bekerjasama, bergantian mengajar anak-anak mengaji. Hal itu sontak membuat warga bersorak sorai dan satu per satu dari mereka memeluk Iqmal yang sedang tersenyum lega.

Saat orang-orang sedang sibuk mengelu-elukan Iqmal, Ainun terlihat menepikan diri, meringkuk di belakang pintu balai desa. Tak ada satu pun yang tahu jika ia mengambil sebuah benda keras dari balik baju dan ia bergumam pendek.

“Kambing hitam itu sudah mati.”


Semarang, Agustus-Oktober 2019

Dimuat di Magrib.id edisi Minggu, 13 Oktober 2019

Gara-Gara Begadang, oleh: Reni Asih Widiyastuti

Pagi ini wajah Dio terlihat kuyu dan matanya merah. Jalannya pun sempoyongan sampai-sampai dia tidak sadar menabrak Ammar. Ammar segera menangkap tubuh Dio dan bertanya.

“Kamu kenapa sih, Dio? Kok aku lihat dari tadi kamu tidak bersemangat?”

“Eh, aku ... tidak apa-apa, kok!” jawab Dio sambil mengucek-ngucek kedua matanya.
“Yakin?”

“Iya!”

Teettt ... teettt ... teettt ...

Bel masuk berbunyi, dan mereka pun bergegas masuk ke kelas. Tak lama, Pak Tio datang. Beliau segera memerintah semua murid untuk membuka buku paket.
Pelajaran berlangsung dengan khidmat. Tapi Pak Tio seperti mendengar suara dengkuran yang sangat keras.

“Siapa yang tidur?” tanya Pak Tio.

Semua murid terdiam. Tidak ada yang berani menjawab, begitu juga dengan Ammar. Meski dia sebenarnya tahu kalau yang dimaksud adalah Dio. Kebetulan Dio duduk di bangku paling belakang. Setelah Pak Tio mengedarkan pandangan, beliau akhirnya melihat Dio sedang tertidur dengan kepala yang disandarkan di atas meja.

“Dio, bangun!” ucap Pak Tio setelah sampai di depan meja Dio.

“Eh, i-iya, Pak! Ada apa ya, Pak?”

“Ada apa, ada apa! Cepat berdiri di luar kelas!”

Semua murid tertawa menyaksikan Dio yang dihukum.

***

Malamnya, Dio menceritakan kejadian hari ini pada ibu. Ibu pun sempat menasihatinya agar jangan begadang. Tapi agaknya di tidak jera juga.

“Dio, jangan keasyikan main game, besok bisa kesiangan, lho?”

“Iya, Bu. Ini juga mau Dio matikan komputernya.”

Dio berbohong pada ibu. Biarlah, sebentar lagi, game-nya masih seru, pikirnya.
Paginya, ketika hendak berangkat ke sekolah, Dio buru-buru memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas. Namun dia tidak sadar kalau buku PR yang dikerjakannya semalam tidak ikut dimasukkan.

Sesampainya di sekolah, Dio melihat teman-temannya yang sibuk memamerkan PR mereka. Salah satu dari mereka segera menanyainya.

“Dio, kamu suda kerjakan PR?”

“Sudah dong!” balas Dio dengan sombongnya.

“Mana, coba aku lihat!”
Dio segera membuka tasnya dan hendak menunjukkan PR yang dia kerjakan semalam. Tapi sayang, setelah berulang kali memerika tas, buku itu tidak ada di dalamnya.

Wajah Dio cemas seketika. Bagaimana mungkin, bukankah tadi pagi buku itu ada di meja belajarnya? Dio terus berpikir keras. Dia mencoba mengingat-ingat lagi, tapi sia-sia. Dia tetap tidak tahu, kenapa buku PR-nya tiba-tiba tidak ada.

Setelah bel masuk berbunyi, Pak Tio segera memeriksa PR semua murid satu per satu. Ketika tiba giliran Dio, dia gelagapan menjawab.

“Ma-maaf, Pak. Mungkin terjatuh dari meja waktu sayamau berangkat, Pak.”

“Dio, seharusnya kamu bisa membereskan buku-bukumu sehabis belajar. Lalu, memasukkannya ke dalam tas tadi malam. Supaya tidak ketinggalan seperti ini.”

“Maaf, Pak. Tadi malam setelah belajar dan mengerjakan PR, saya bermain game sampai larut. Lalu tiba-tiba saya ketiduran,” kata Dio sambil menunduk malu.

“Dio, begadang apalagi sambil main game itu tidak baik. Mata kita sudah lelah seharian, tapi masih dipaksa bekerja hingga larut malam. Kalau terus-terusan, mata kita akan sakit. Kamu tidak mau kan kalau sampai sakit?” Pak Tio menasihati Dio dengan bijak.

“Iya, Pak. Saya tidak mau sakit. Mulai hari ini saya akan berjanji tidak akan begadang dan main game lagi sampai larut malam.

Semua murid turut mendengarkan penjelasan dari Pak Tio. Akan tetapi, Pak Tio tetap memberikan hukuman untuk Dio, supaya dia benar-benar jera. Beliau juga mengingatkan anak-anak yang lain untuk selalu sadar diri akan pentingnya menjaga kesehatan, salah satunya kesehatan mata. Yaitu dengan tidak begadang di malam hari.

Semarang,  23 Oktober 2019

Dimuat di Solopos edisi Minggu, 03 November 2019

Berkat Uang Sepuluh Ribu, oleh: Reni Asih Widiyastuti

Siang ini—sepulang sekolah, Fandy mengajak beberapa temannya untuk belajar kelompok bersama di rumahnya. Kebetulan, ada tugas dari Pak Guru Saiful—guru bahasa Indonesia. Mereka berjalan kaki dengan senang hati, mengingat jarak antara sekolah dan rumah Fandy tidak terlalu jauh. Paling hanya memerlukan waktu kurang lebih 10 menit.

Di tengah-tengah perjalanan,saat teman-temannya sedang asyik bercanda dan mengobrol, mata Fandy tertumbuk pada sesuatu. Ya, dia seperti melihat selembar uang sepuluh ribu. Meski tidak terlalu jelas dan sedikit tertutup oleh batu. Dia pun semakin mendekat ke arah uang tersebut tanpa memberi tahu teman-temannya. Lalu, diambillah uang itu.

“Fan, ada apa, sih?” tanya Santi, salah satu temannya.

“Ah, ini. Anu, nggak ada apa-apa, kok. Aku cuma membetulkan tali sepatu, San,” kata Fandy seraya menggenggam erat uang tersebut agar tidak diketahui oleh Santi.

Santi awalnya sedikit curiga, tapi kemudian tersenyum pada Fandy. Begitu juga dengan Fitri, Boni dan Hasan. Mereka tak mempermasalahkannya dan melanjutkan perjalanan pulang.

Dengan langkah gontai, Fandy pun mengikuti langkah teman-temannya. Dalam hati, dia merasa sangat bersalah. Dia bingung, sebab sebenarnya itu bukan uangnya melainkan uang orang lain.

***

Sesampainya di rumah, Fandy tidak langsung menceritakan soal uang sepuluh ribu tersebut. Dia dan keempat temannya sepakat untuk mengerjakan tugas terlebih dulu. Bagaimanapun, itu adalah tujuan utama mereka belajar kelompok.
Setelah satu jam berlalu, tugas dari Pak Guru Saiful akhirnya selesai mereka kerjakan. Kemudian, takut-takut Fandy bercerita pada teman-temannya.

“San, sebenarnya tadi aku bohong sama kamu,” kata Fandy.

“Hah, soal apa?” Santi merasa terkejut.
Fitri, Boni dan Hasan juga tak kalah penasaran. Semua tertuju pada Fandy.

“Jadi begini, teman-teman. Tadi sebenarnya tali sepatuku nggak lepas, melainkan aku menemukan ini,” papar Fandy seraya menunjukkan uang sepuluh ribu yang ditemukannya tadi di hadapan teman-temannya.

“Wah, itu namanya rezeki, Fan!” ucap Hasan dengan mata berbinar.

“Benar, toh kalau mau dikembalikan, pasti susah menemukan siapa pemiliknya! Ya, nggak? imbuh Boni kemudian.

“Iya. Simpan saja uang itu, Fan. Atau kalau kamu nggak mau, biar buat aku saja! Hahaha ....” Fitri juga ikut menambahkan sambil tertawa keras.

Santi yang sedari tadi mendengarkan, turut mengangguk. Seolah-olah dia sependapat dengan teman-teman yang lain.
Intinya, pendapat teman-teman hampir sama. Tapi tidak bagi Fandy. Ada yang mengganjal dalam hatinya, meskipun sebenarnya bisa saja dia mengikuti saran teman-temannya.

“Ya sudah, kita pamit pulang dulu, Fandy. Terserah kamu saja. Yang penting, uang itu kamu simpan,” kata Santi disusul Boni, Fitri dan Hasan.

Mereka pulang, tapi setidaknya ucapan Santi membuat hati Fandy sedikit lega.

***

Esoknya—ketika hendak berangkat ke sekolah, Fandy diam-diam membawa uang itu dan memasukkanya ke dalam tas. Tanpa menunggu lama, dia melesat keluar rumah setelah berpamitan pada ibu.

Fandy berjalan agak cepat menuju ke sekolah dengan perasaan waswas. Takut kalau-kalau ibu memergokinya. Namun, saat baru beberapa meter meninggalkan rumah, dia melihat seorang bapak yang berjalan sambil menuntun motor. Ragu-ragu dia mendekati bapak itu dan bertanya.

“Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Sepertinya Bapak sedang dalam kesulitan?”
Bapak tersebut seketika menoleh dan tersenyum ramah pada Fandy. Fandy pun balas tersenyum.

“Ah, ya. Ini, kebetulan bapak kehabisan bensin. Sungguh, bapak lupa. Seingat bapak, bensinnya masih cukup kalau hanya untuk perjalanan pendek.”

Fandy menganggut-anggut. Bagaimana caranya menolong bapak ini, ya? Batinnya.
“Saya tahu penjual bensin dekat sini, Pak!”

Mereka berjalan beriringan. Setelah lima menit berlalu, sampailah mereka di tempat jual bensin eceran. Kemudian Bapak itu segera meminta pada penjual untuk mengisikan bensin ke dalam motornya. Tapi saat hendak membayar, Bapak itu merogoh saku celananya dan terlihat kebingungan. Mungkin dompet beliau tertinggal di rumah.
Fandy menelan ludah. Haruskah ia mengorbankan uang sepuluh ribu di dalam saku celananya? Bukannya Santi berpesan agar ia menyimpannya?

“Mm ... kalau Bapak mengizinkan, bolehkah saya membayarnya dengan uang ini?” ujar Fandy sambil mengeluarkan uang sepuluh ribu itu.

“Nggak usah. Itu uangmu, lebih baik disimpan saja.”

“Tidak, Pak. Sebenarnya ini bukan uang saya, ini saya temukan di jalan.”

“Oh, ya? Bapak bangga sekali sama kamu. Ya, walaupun kamu menemukan uang itu di jalan, kamu tidak sembarangan menggunakannya. Kamu justru berniat baik dengan membantu bapak. Begini saja, bagaimana kalau uang itu bapak pinjam dulu?”

“Ya, Pak. Nggak apa-apa.”

“Oh, ya. Kamu mau berangkat ke sekolah? Bapak antar sekalian, ya!”

“Nggak usah, Pak. Lagipula saya sudah terbiasa jalan kaki ke sekolah.”

“Nggak apa-apa. Ayo naik, nanti keburu terlambat!”

Mereka segera melesat dan setelah menempuh perjalanan selama 5 menit, sampailah mereka di depan gerbang sekolah. Fandy pun meminta pada bapak itu untuk menghentikan laju motornya. Lalu turun dari motor dan mengucapkan terima kasih.

“Lho, kamu sekolah di sini?”

“Iya, Pak. Ada apa ya, Pak?”

“Wah, kok bisa kebetulan begini, ya? Saya guru baru di sekolah ini. Kenapa tadi kamu nggak bilang sama bapak?”

Pak Guru yang ternyata bernama Bahri itu segera memarkirkan motornya. Kemudian beliau merangkul Fandy dengan bangga. Sejak pertemuan yang tidak disengaja itu, Fandy semakin semangat dalam belajar, karena Pak Bahri sangat baik dan telaten dalam mengajar para murid. Dia juga tidak pernah lupa, ternyata berkat uang sepuluh ribu yang ditemukannya, dia bisa bertemu dengan salah satu guru terbaik di sekolahnya.

Semarang, Oktober-Desember 2019

Dimuat di Janang.id edisi Rabu, 15 Januari 2020