Selasa, 21 Juli 2020

Resensi: Mengemas Luka Menjadi Cerita



Judul: Kau yang Menikah dengan Batu
Penulis: Elfi Ratna Sari
Penerbit: AT Press Solo
Cetakan: Pertama, Maret 2020
Tebal: 179 halaman
ISBN: 978-623-7303-85-5
Peresensi: Reni Asih Widiyastuti
Alumni SMK Muhammadiyah 1
Semarang

Tak banyak orang yang mampu menyingkirkan luka di dalam hati. Namun, berbeda dengan penulis buku “Kau yang Menikah dengan Batu” ini. Ia bahkan sengaja mengemas luka-luka yang singgah ke dalam hidupnya, menjadi lembaran cerita.

Buku berisi 19 cerpen yang ditulis oleh Elfi Ratna Sari ini sebagian besar mengupas tentang kekecewaan seorang perempuan terhadap laki-laki. Membacanya, seolah-olah mewakili apa yang tersimpan di hati si penulis, seperti pencerminan dari kisah nyatanya sendiri.

Beberapa di antara cerpen tersebut mengesankan. Sebut saja cerpen dengan judul “Hantaran Pernikahan”. Berkisah tentang seorang perempuan bernama Elsa yang kesehariannya adalah sebagai pembuat hantaran pernikahan. Seorang kawan lamanya yang bernama Rud, tiba-tiba bertandang ke rumah bersama bocah berusia 3 tahun, yang katanya ingin dibuatkan hantaran pernikahan untuk sepupunya. Dia teramat lega, sebab bukan Rud yang hendak menikah.

“Mungkin saja dengan keadaan dia yang memintaku mengerjakan hantaran ini, kita bisa merajut tali asmara yang bertahun-tahun lalu telah terputus. Menyambungnya kembali dengan tali yang halal.” (Hal. 33)

Namun siapa sangka, bocah 3 tahun itu, ternyata anak Rud. Dalam hal ini, betapa sebuah kepercayaan dan keyakinan yang terlalu tinggi, bisa saja dapat menimbulkan luka yang menyesakkan dada. Untuk itu, bersikaplah dengan sewajarnya saja.

Begitu juga dengan cerpen “Kau yang Menikah dengan Batu”. Menceritakan seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki. Namun, laki-laki itu meninggalkannya saat ia tengah hamil. Bahwa sifat keras kepala, tanpa berpikir panjang, bisa menyengsarakan hidup.

“Itulah nasibmu yang menikah dengan batu. Dan kau mau tidak mau harus menerima kenyataaan ini.” (Hal. 41)

Atau di dalam cerpen “Hati yang Kau Sekap”. Seorang wanita yang statusnya tidak jelas karena ditinggalkan oleh sang suami. Bahkan sempat tak mengakui darah dagingnya sendiri.

Semua cerpen di atas seperti memiliki benang merah tentang luka seorang perempuan, meskipun di dalam cerpen-cerpen lain juga terdapat kesinambungan. Seperti: Lelaki yang Dimakan Ego, Panggung Kesedihan dan Surat untuk Ibu.

Namun, pada akhirnya penulis memang sudah tidak diragukan lagi dalam mengemas luka menjadi cerita. Sebuah buku yang sangat layak dibaca di kala senggang, memberikan pembelajaran, khususnya bagi kaun perempuan. Bahwa luka tak perlu dipendam. Luka harus dipaparkan menjadi untaian kalimat, yang setidaknya lama-kelamaan akan pudar dengan sendirinya.

Semarang, 06 Juli 2020
Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Selasa Pon, 21 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar